Monday, December 8, 2008

penerapan dan pemanfaatan semiotika

Bagaimana Penerapannya?

MEDIA
Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.
Dalam konteks media massa, khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :
Teknik kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini. Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.

Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan. (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4).



PERIKLANAN
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).
Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
• Penanda dan petanda
• Gambar, indeks, simbol
• Fenomena sosiologi
• Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
• Desain dari iklan
• Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu :
o Pesan Linguistik : Semua kata dan kalimat dalam iklan
o Pesan yang terkodekan : Konotasi yang muncul dalam foto iklan
o Pesan ikonik yang tak terkodekan : Denotasi dalam foto iklan
TANDA NONVERBAL
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :
• Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya.
• Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
• Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.
Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal.

Bagaimana Pemanfaatannya?


Merujuk pada teori Pierce, maka tanda – tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotic. Diantaranya: ikon, indeks dan symbol (North, 1995:45).

Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki cirri – cirri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan.

Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu.

Simbol Merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambangan yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.

Friday, December 5, 2008

"Semiotika"

Semiotik Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berartitandaatau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalahbunyi yang bermaknaataucoretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

1. signifier

   (penanda)                                   2. signified
(
petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

   (PENANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE  SIGNIFIED  
(
PETANDA KONOTATIF)

CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa maknaharfiahmerupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagaimitosdan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Berbeda dengan para ahli yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant (lihat gambar 3). Atas dasar hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.


Semua kenyataan cultural adalah tanda. Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri.

Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.


Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlahmaknakita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.

Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung. (Uwie)



PENERAPAN SEMIOTIKA

Ada sejumlah bidang terapan semiotika. Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks.

19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain :

 

1. Semiotika binatang (zoomsemiotic)

2. Tanda – tanda bauan (olfactory signs)

3. Komunikasi rabaan (tactile communication)

4. Kode – kode cecapan (code of taste)

5. Paralinguistik (paralinguistics)

6. Semiotika medis (medical semiotics)

7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics)

8. Kode – kode musik (musical codes)

9. Bahasa – bahasa yang diformalkan (formalized languages)

10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown alphabets, secret codes)

11. Bahasa alam (natural languages)

12. Komunikasi visual (visual communication)

13. Sistem objek (system of objects)

14. Struktur alur (plot structure)

15. Teori teks (text theory)1

16. Kode – kode budaya (culture codes)

17. Teks estetik (aesthetic texts)

18. Komunikasi Massa (mass comunication)

19. Retorika (rhetoric)

Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :

1. MEDIA

Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.

Dalam konteks media massa, khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.

Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :

  1. Teknik kuantitatif

Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini.

Menurut Van Zoest, 19993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.

  1. Teknik kualitatif

Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.

Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)

 

1. Pendekatan Politik-Ekonomi

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.

2. Pendekatan Organisasi

Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar diri pengelola media.

3. Pendekatan Kulturalis

Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar media.

Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.

Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan.

Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :

  1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.

  2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.

  3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.

Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994) antara lain:

  • Kekuasaan Ekonomi —— dilembagakan dalam industri dan perdagangan.
  • Kekuasaan Politik ——— dilembagakan dalam aparatur negara
  • Kekuasaan Koersif ——– dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter.

2. PERIKLANAN

Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).

Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Berger) :

  • Penanda dan petanda

  • Gambar, indeks, simbol

  • Fenomena sosiologi

  • Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk

  • Desain dari iklan

  • Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut.

Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu :

    • Pesan Linguistik ————————– Semua kata dan kalimat dalam iklan

    • Pesan yang terkodekan —————— Konotasi yang muncul dalam foto iklan

    • Pesan ikonik yang tak terkodekan —– Denotasi dalam foto iklan

3. TANDA NONVERBAL

Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.

Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :

  • Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya.

  • Tanda yang ditimbulkan oleh binatang

  • Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.

Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.

Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.

Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :

 

  • Langkah Pertama ——- Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.

  • Langkah Kedua ———- Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –konsep pada tanda nonverbal.

  • Langkah Ketiga ———- Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.

  • Langkah Keempat —– Merupakan langkah terpenting —– menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.

4. FILM

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.

 

Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.

Sardar & Loon ——– Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.

Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.

5. KOMIK-KARTUN-KARIKATUR

Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan komik, kartun, serta karikatur.

Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah hangat meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan bahasa teks.

Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian.

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik. Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.

Tommy Christomy ——— Secara formal proses semiosis yang paling dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.

Untuk menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut.

Setiawan —— Komik-kartun penuh dengan perlambangan – perlambangan yang kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan yakni dengan menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan tafsiran.

6. SASTRA

Santosa —— Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika.

Aminudin —— Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi :

  • Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.

  • Karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.

  • Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.

Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret

Junus —– Pradopo —- Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.

Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda – tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Preminger ——- Studi semiotika sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda – tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

7. MUSIK

Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda – tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.

Aart van Zoest —– Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan :

  • Untuk menganggap unsur – unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala – gejala neurofisiologis pendengar,

  • Untuk menganggap gejala – gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala – gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.

  • Untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksial.

Untuk menganalisi musik tentu juga diperlukan disiplin lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa, agama, dan falsafah. (Handri Nugroho)